ADANYA ULAT LULUT
Ulat
lulut merupakan sebangsa binatang kecil-kecil seperti ulat. Di masyarakat bali
biasanya sudah mengenal mengenai ulat lulut berada disuatu pekarangan rumah,
ulat lulut ini berbentuk kecil-kecil jalannya berentetan seperti sebuah kalung
dan memiliki warna yang berbeda-beda, ada yang berwarna putih, ada yang
berwarna kuning keemasan, dan ada yang berwarna tembaga. Ulat lulut ini muncul
merupakan suatu pertanda sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu
keluarga di tempat ulat lulut itu mencul.
Oleh karena itulah kita umat hindu
menyebutnya dengan nama lulut, dan langsung menjadi kepercayaan umah hindu
khususnya di bali, mungkin juga di tempat lainnya bila di dalam pekarangannya
muncul lulut.
Cerita Mitos adanya Ulat lulut
Ada
dua orang penghuni dewata loka, yaitu I Gudug Pasu, dan I Bawi Serenggi, pada
suatu ketika mereka mendengar berita bahwa ada seorang Dewi penghuni Surga Loka
yang bernama Bhatari Sri, beliau merupakan satu-satunya dewi yang paling cantik
di seluruh Surga Loka. Ketika ke dua dewa penghuni Dewata Loka mendengar berita
itu, kedua dewa itu sangat tertarik kepada Bhatari Sri, dan ingin
mempersuntingnya. I Gudug Pasu dan I Bawi Serenggi yang sama keinginannya untuk
mendapatkan Bhatari sri, dalam pertemuannya
I Gudug Pasu mengatakan : “Hai sodaraku Bawi Serenggi, aku tahu apa yang
tersimpan dalam hatimu setelah kita mendengar berita tentang kecantikan Bhatari
Sri, begitu juga yang tersembunyi dalam hatiku. Yang sama-sama berkeinginan
untuk mempersunting Bhatari Sri, sudah jelas Bhatari sri hanya seorang diri,
sedangkan yang menyukainya kita berdua.jadi harus bagaimana kita bertindak
sekarang, agar jangan kita nanti dihadapan Bhatari sri kita bertengkar, atau
berlaku tidak senonoh, kita sama-sama penghuni Dewata Loka, sudah sewajarnya
bersikeras mempertahankan mutu sifat kedewataan kita, menurut pendapatku dalam
hal ini hanya ada satu jalan yaitu kita harus salah satu yang hidup, untuk
tujuan itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali berperang”.
I
Bawi Serenggi setelah mendengar kata kawanya itu segera menjawab : “pendapatku
juga demikian”. Akhirnya mereka bertarung untuk mendapatkan Bhatari sri, pertarungan
mereka makin lama makin bertambah hebat, suara sentuhan senjata membisingkan,
api yang timbul akibat sentuhan senjatanya tampak sebagai kilat membelah bumi,
begitu hebat pertarungannya, sedikitpun pada sekujur tubuh mereka tiada
bekas-bekas goresan senjata.karena begitu lama pertarungannya tidak ada yang
kalah, akhirnya peperangan itu mereka hentikan, karena mereka sama-sama yakin
bila di teruskan tak ada yang berakhir kalah dan menang. Setelah peperangan
berhenti I gudug Pasu lalu berkata “saudaraku
Bawi serenggi, oleh karena pertarungan kita tidak ada yang kalah dan
menang. Sekarang baiklah kita teruskan saja usaha kita untuk dapat mengawini
Bhatari Sri, marilah kita pergi saja ketempat Dewi Sri yaitu Sorga. Akan tetapi
menurutku kepergian kita itu kita bagi. Kamu pergi menuju kearah barat laut dan
aku sendiri menuju kearah timur laut”. Demikian perjanjian meraka yang sama-sama
mentaatinya. Entah beberapa lamanya meraka dalam perjalan kini tersebutlah I Gudug
Pasu yang mengambil arah ketimur laut tiba-tiba bertemu dengan Bhatara Siwa.
Kepada Bhatara Siwa dia menjelaskan apa yang menjadi tujuannya sehingga dia
sampai datang ke tempat ini. Bhatara Siwa setelah memahami maksud dan tujuannya
I Gudug Pasu, beliau bersabda “ ya kalau itu yang kamu maksudkan, memang benar
Bhatari Sri sangat cantik, tetapi sayang sekali Bhatari Sri kini tidak masih
tinggal disini, Ia telah turun kedunia bersama kakaknya Batara Rambut Sedana
untuk menguasai Dunia begitulah halnya dan sekarang teserah padamu” Sabda
Bhatara Siwa. I Gudug Pasu setelah mendengar sabda Bhatara Siwa demikian, ia
segera mohon pamit untuk meneruskan perjalanannya dalam mencari Bhatari Sri.
Kini
tesebutlah seorang Raja yang menguasai daerah sebagaian dari dunia yaitu di
Negara Maninte, Raja itu bermimpi bahwa Bhatari Sri sudah turun kedunia dan
kini sedang berada dalam daerahnya,tapi entah dimana tempatnya. Berhalasan ini
lah beliau segera memanggil seluruh rakyatnya untuk dimintainya penjelasan.
Tetapi malang semua rakyatnya menjawab dengan tidak tau. Oleh karena mereka
semua menjawab dengan tidak tahu akhirnya raja menitahkan agar seluruh rayatnya
pergi mencari Bhatari sri diseluruh wilayahnya.
Bhatari
Sri kini sedang perjalannya menuju dunia, sampailah beliau pada perbatasan
negara yang menjadi kekuasaan Sang Raja Maninte, perjalanan Betari Sri diiringi
oleh 2 orang abdinya masing-masing Ni Sri Tekong/ keladi dan Ni Sri Kuncung/
jagung) .
Sampainya
Dewi Sri di dunia, beliau terkejut setelah ,melihat rakyat begitu banyak datang
dan meraka siap menghadap dirinya, dengan tidak berpikir panjang, beliau segera
menghilang dari tempat itu bersama kakanya lalu menuju hutan. Sampai dihutan
beliau lalu berhenti di bawah sebatang kayu ketepung kuning yang rindang dahanya. Disanalah beliau berhenti sejenak
untuk melepas lesunya. Pada saat itulah I Gudug Pasu dengan tidak sengaja dapat
menjumpai Bhatari Sri, kegembiraan hatinya itu I gudug Pasu segera berkata “
Wahai jungjunganku Bhatari Sri syukurlah hamba bertemu dengan dewi di tempat
ini. Ketahuilah wahai bhatariku, bahwa saya ini telah sekian lama sudah meninggalkan
Sorga , untuk mencari Bhatariku, karena saya tidak akan senang bila belum dapat
mempersunting bhatari ku”. Medengar kata –kata yang dihucapkan oleh I Gudug
Pasu, Betari Rambut Sedana cepat menyelahnya “ Hai Gudug Pasu, kalau demikan kehendakmu
aku sebagai kakanya belum iklas menyerahkan adiku begitu saja tanpa pembelahan.
Hanya jiwakulah yang menjadi taruhanya”. I Gudug Pasu yang kehendaknya tak
dapat di belokannya lagi, tahu akan dirinya, tak ada yang menyamai kesaktiannya,
dengan tidak terduga-duga menyerang Betari Rambut Sedana untuk akan
ditaklukannya. Pertarungan terjadi dengan dahsayatnya. Tak ada yang mengalami
cedra selama pertarungan itu berlangsung. Saat pertarungan itu terjadi dengan
hebatnya Betari Rambut sedana tiba-tiba mendengarkan suara dari langit “Hai
dewa Rambut Sedana, bila dengan jalan ini membunuh I Gudug Pasu, pasti tak akan
berhasil. Hanya dengan menangkapnya dan
membuangnya ketengah samudra bisa mengalahkanya, hanya dengan jalan inilah akan
berhasil usahamu untuk mengalahkannya”
Betara Rambut Sedana tidak berpikir panjang lagi setelah mendengar sabda
itu, dengan secepatnya ia lalu memancing I gudug Pasu kearah laut. Tiba dilaut Batara
Rambut Redana Berhasil menangkap I Gudug
Pasu dan segera melontarkan ketengah-tengah samudra yang luas. Setelah I Gudug
Pasu berada dalam lautan sempat, ia mengeluarkan kata-katanya, kata-katanya itu
jelas terdengar oleh betara rambut Sedana “hai Rambut Sedana apa dengan jalan
beginikah kamu akan sanggup membunuh ku? Belum tentu. Tetapi ingat cita-citaku
belum tersampaikan untuk mendapatkan Dewi Sri, aku akan terus berjuang sampai
cita-citaku benar-benar terpenuhi”. Hilang suara itu, tiba-tiba mengapunglah dipermukaan
air laut seekor ikan yang pada hakekatnya bahwa ikan itu adalah jelmaan I Gudug
Pasu, dalam cerita disebut dengan Be Biwang uyah. Kini setelah I Gudug Pasu
tiada lagi, Bhatara Rambut Sedana kembali menjumpai Bhatari Sri. Betapa
girangnya hati Bhatari Sri melihat rakandanya datang dengan selamat.
Bhatara
Rambut sedana bersabda “ adikku kini marilah kita turun ke medang
Kemalean, untuk itu aku harap agar dinda tidak lagi menggunakan badan,melainkan
sekarang ini dinda harus mempergunakan badan ulat kecil, begitu juga aku dengan
memakai badan ulat juga, warna badanmu agar kuning dan aku warna kulit putih.
Cara ini adalah suatu rahasia bagi kita untuk jangan kita sampai keliru
mengingat kelak bila kita akan berjumpa, sehandainya barang siapa saja manusia
didunia akan menjumpai kita supaya kita
dipapag dengan upacara keagamaan sesuai dengan agama yang mereka anut. Bila
dinda terlebih dahulu dijumpai agar mereka memapagnya dengan upacara yang terdiri dari: suti asoroh,
dengan menggunakan daging ayam biying yang berbulu merah, tetebasan, peras
lengkap dengan sesantunnya, penyeneng pelinggih, serta canang sekedarnya.
Apabila aku di jumpainya, upacaranya sama saja hanya daging sucinya agar menggunakan ayam yang putih bulunya. Setelah
dinda di papag, hendaknya ia cepat kembalikan ketempat padi ( lumbung)
sedangkan aku agar ia kembalikan kegedong saren. Dalam hal ini memberikan
kelonggaran bagi manusia yang menjumpainya, bila hari ini mereka menjumpai
kita, lambat-lambatnya lagi tiga hari harus mereka buatkan upacaranya. Nah
demikian lah pesanku, dan untuk itu aku harapkan dinda berangkat terlebih
dahulu, karena aku ini masih dalam keadaan lelah”.
Kini
tersebutlah I Gusti Makokowan, Raja yang menguasai Negara medang kemalean. Pada
waktu itu beliau sedang sibuknya megadakan upacara, upacaranya yang memerlukan
lubang tanah, raja segera menitahkan salah seorang dari abdinya untuk membuat
lubang pada tanah sekitar yajnya diselenggarakannya, entah beberapa lamanya
setelah yajnya itu berlalu maka tumbuhlah serumpun padi pada tempat cekung yang
tanahnya pernah di gali semenjak di selenggarakannya yajnya tempo hari. Melihat
itu alangkah girang hati Sang Raja, karena itu sungguh-sungguh kehadaan yang
diluar dugaannya, begitulah keadaanya sehingga menjadi perhatian bagi seluruh
rakyatnya.
Adapun
kawan I Gudug Pasu yakni I Bawi Serenggi yang mengambil jalan arah kebarat
laut,I Bawi Serenggi tidak memjumpai Dewi Sri maupun Bhatara Siwa, melainkan ia
hanya menjumpai serumpun bambu gading ( ampel-gading)dia sangat kesal, karena
tidak menemukan Dewi Sri, dengan tidak di sadari perbuatannya, maka
cabang-cabang dari ampek gading itu di patah-patahkan, akibat perbuatannya tiba-tiba
terdengarlah suara, setelah suara itu diselidikinya ternyata datang dari rumpun
bambu itu, mengatakan “ O Bawi Serenggi, kenapa kau membuat aku seperti ini?
Bukannya kamu akan mencari Dewi Sri? Kamu tidak tahu siapa aku ini sedangkan
aku sediri telah mengetahuimu. Sekarang dewi Sri sudah terun di timur laut,
carilah disana, nanti disana kamu akan jumpai cekung tanah, disanalah Bhatari
Sri berada”. Begitulah terdengar suara dari rumpun bambu itu dan sekarang ia segera
meninggalkan tempat itu, dan segera menuju tempat sebagaimana yang di tunjukan
oleh suara tadi. Tetapi malang kedatangan I Bawi Serenggi, kedatangannya telah
di ketahuinya terlebih tahulu oleh Bhatari Sri sehingga Bhatara Sri mengutuknya
menjadikan babi yang begitu buas. Terhujudlah kutukan Bhatari Sri,kini I Bawi Serenggi
sudah menjadi babi yang garang tanah-tanah di sekitar tempat itu dikacaukannya tempat
itu sehingga berserakan.
Pohon-pohon
diobrak-abriknya dengan sehendaknya, tingkah laku babi buas yang membabi buta
itu, menimbulkan amarah Sang Raja. Sudah tentu Raja tidak membiarkan babi itu
berbuat begitu semakin lama.Raja segera menangkapnya, tetapi babi itu melawan
dengan sekuat-kuatnya sehingga terjadilah pertarungan yang hebat, keduanya
sama-sama kuat, ketika pertarungan berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar
suara yang tidak dapat diketahui dari mana sumbernya yang maksudnya agar I
gusti makokowan dalam usahnya membunuh babi itu tidak menggunakan senjata yang
dipakainya itu, melanikan ia harus menggunakan bambu yang diruncingngi. I Gusti
Makokowan segera melepaskan diri dari pertarungan itu, segera mengambil senjata
bambu runcing. Dengan senjata inilah Raja menyerang babi buas itu dengan
bertubi-tubi sehingga dengan senjata itulah baru tubuh babi itu terluka
olehnya, darah yang tersembur kesana-kemari yang menandakan bahwa jiwanya akan
segera meninggalkan jasadnya, sebelum jiwanya pergi meninggalkan tubuhnya sempat
ia mengeluarkan kata-katanya ” hai Gusti Makokowan, sekarang kamu bisa
membunuhku, tetapi ingat, cita-cita ku untuk memperistri Dewi Sri belum terwujud,
selama keinginan ku belum terwujud, selama itu pula aku akan berjuang” .
setelah selesai ia mengucapkan kata-katanya itu maka melayanglah jiwanya dan
jasadnya menggeletek pada tempat itu. Apakah yang akan terjadi setelah babi itu
tiada? dalam cerita ini disebutlah bahwa darah dari babi itu dikatakan menjelma
menjadi candang api, nabasnya menjelma menjadi candang kubal, kukunya menjadi
candang getep, dan ekornya menjadi candang kibul,
Begitulah
disebutkan dalam ceritera kalulutan yang pada hikmatnya kami bahwa segala
candang-candang yang disebut tadi adalah ia merupakan penyakit padi,misalnya
semacam hama yang bisa disebut hama merah, hama mentek dan lain-lainnya, yang
sulit bagi petani kita memeranginya, walaupun dengan jalan menggunakan
bahan-bahan kimia yang modern.disamping kita sebagai petani memeranginya dengan
jalan itu, ada baiknya kalau kami sarankan sesuai dengan kepercayaan kita
sebagai umat Hindu, untuk menyertai usaha pembasmian itu dengan jalan
mengadakan peneduhan-peneduhan pada tempat-tempat suci yang kita anggap bhatara
yang beristana disana bercompeten dalam bidang itu.
Itulah
yang dapat saya ketahui tentang cerita asal mula adanya lulut dan sampai
sekarang masyarakat bali sangat percaya tentang adanya lulut.kita sebagai umat
hindu khususnya di Bali tidak bisa membiarkan begitu saja jika ada muncul lulut
di pekarangan kita, bahkan mereka yang pekarangan rumahnya kedatangan ulat
lulut, akan segera mengadakan upacara bhuta yadnya sekurang-kurangnya tingkat
Eka sata, sesuai dengan kepercayaannya. Sudah tentu upacara yang mereka lakukan
berfungsi sebagai pemarisudha.
Dalam
lontar Segara Bumi juga menjelaskan Ulat lulut ini muncul merupakan suatu
pertanda sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di
tempat ulat lulut itu mencul. Pertanda ini dapat dijelaskan sesuai petunjuk
lontar “ Roga Segara Bumi” antara
lain:
1.
Kalau dipekarangan rumah muncul adanya
ulat lulut yang berwarna kecoklatan, dikatakan lulut “tembaga”
adalah sebagai pertanda bahwa upacara penyucian karanganya masih belum
sempurna, sehingga adanya prawesa kedurmengalan berupa lulut warna coklat, akan
dapat mengakibatkan adanya kejadian-kejadian labian amuk di pekarangan
tersebut.
2.
Kalau di pekarang rumahnya muncul adanya
ulat lulut berwarna putih, disebut “Lulut
Selaka “ maka hal itu merupakan pertanda bahwa ada salah satu dari leluhur
di tempat itu mendapatkan kesengsaraan, masih keletuhan sehingga leluhur yang
demikian meminta tolong kepada sentana
agar dibuatkan upacara penyucian kembali, kalau tidak demikian, akan selalu
mendapatkan mara bahaya.
3.
Kalau di pekarangan rumahny muncul
adanya ulat lulut berwarna kuning keemasan, disebut “ Lulut Emas” adalah merupakan pertanda bahwa di karang tersebut,
dulunya ada salah satu pohon yag tumbuh di pekaranga tersebut disambar
halilintar ( sinamberaning gelap), sehingga mengakibatkan tempat tersebut
kedurmengalan, karena tidak pernah melakukan upacara pemarisudha durmengalan
dari dulu. Hal ini dapat memberi pertanda bahwa setiap anggota keluarga silih
berganti mengalami sakit dan dalam waktu lama tidak mengalami kesembuhan,
boros, sering mengkibatkan perselisihan antar anggota keluarga, selalu
menemukan bahaya.
Pertanda dengan adanya
ulat lulut tersebut bagi umat hindu khusunya yang tinggal di bali sangat perlu
di yakini, sesuai dengan petunjuk lontar roga sengara Bumi yang isi petunjuk
lontarnya anatara lain :
Muah Yan Hana Uler,
Lulut Kenaka, Rejata, Muang Temaga, Tumuwuh Ring Kadewatan Sira, Wenang
Gaweyaken Pemarisudanta Sang Hyang Druwa Resi Maweh Wangsit, Ciri Palemahan
Sira Manggih Lara Makweh Pangrubedania Luire : Yan Lulut Tmaga Ciri Nguni Hana
Ri Palemahania Kekneng Sinambering Gelap Pangrubedania Lara Tan Kepegatan,
Memehan Hana Kelabuan Amuk, Wanang Parisudana Sejeroning Wulan Pitung Dina,
Warasa’ya.
Hana Muah Lulut Kenaka,
Maka Ciri Hana Pitra Kewalunan Kekneng
Soda Sengsara, Pangrubedania, Rug Ikang Sanak Kulawargania Ring Lemah,
Sentania Makweh Cendek Tuwuh, Wenang Parisudanan, Waras’ya.
Hana Manih Katiben
Lulut Rejata,Nga, Emas, Apan Manusa Maring Lemah Tan Wruh Ring Kawitania, Rug,
Sanakuluwarga’ta Umaweh Lara, Umaweh Tan Pegatan Anemu Redut, Cendek Tuwuhnia,
Oros Pedaging Umahnia, Wenang Pari Sudhanan, Waras’ya
Jika
berbicara tentang filsafat,maka adanya binatang lulut di suatu pekarang rumah,
merupakan pekarangan itu terkena leteh, dalam lontar “Roga Segara Bumi” sudah
memberikan petunjuk bahwa sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu
keluarga di tempat itu, sehingga adanya prawesa kedurmengalan berupa lulut.
Pengertian Durmangala adalah Durmangala berasal dari kata “Mala” yang maksudnya keletuhan, dan kata “dur” dapat diartikan telah kena, mendapat sisipan “Ng” menjadi kata “durmangala” yang memiliki arti Kena keletuhan. Dan kata Prawesa
berasal dari kata “para” yang dapat
diberikan arti “segala bentuk” dan
kata “wesa” berasal dari kata “WASIBHUTA” yang artinya “ tersiksa” atau “Siksaan” ( Kamus Jawa Kuno,
Hal 667). Maka arti secara keseluruhan adalah telah mengalami
keletuhan dan siksaan dari kekuatan
bhuta, sehingga merasakan kesedihan. Jika ulat lulut itu ditemukan di area
persawahan yang di tananami padi, maka ulat lulut sebagai hama, dan jika ulat
ulut di temukan di pekarangan rumah, maka pekarang rumah itu mengalami
keletuhan dan siksaan dari kekuatan bhuta sesuai petunjuk Lontar Roga Segara
Bumi.
Kita
sebagai umat hindu khususnya di bali, banyak sekali kejadian-kejadian yang
merupakan di luar nalar manusia dan juga sulit di jelaskan secara ilmiah, maka
dari itu kita harus percaya dengan hal yang seperti itu. Apa lagi terjadi di
pekarang rumah kita sendiri, kita harus menyikapi hal tersebut dengan upacara
yang sesuai ketentuan. Agar terhindar dari kesengsaraan. Kita sebagai umat
hindu harus menjaga keseimbangan sekala (jasmani) dan juga niskala (rohani)
diperhatikan dan dikerjakan dengan baik. Sebab hidup yang baik adalah hidup
yang seimbang, serasi dan harmonis dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana,
I. B. Putu. 2009. Ajaran Agama Hindu Prawesa.
Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.